Feeds:
Posts
Comments

6a0105364f8cba970b01156fbee628970b-800wi

Peace is surely more than the absence ofwar. It is a state of the community and of the world in which healthy human development can take place. Humanistic psychology has something vital tosay about the transformation to peace. However, because both humanistic psychology and peace psychology have weighed in most strongly with their concerns about war, this good place to start. War is but one of the ways in which we inflict violence on one another. Among all forms of destructiveness, war is special mainly in the ways in which it is justified.A declaration of war gives a state the recognized right to order people to conquer, destroy, and kill. Why do we do it?
The Answer begins with an observation on war that is well documented in Tuchman’s book. Example of societies that have been relatively free of violent wars for long periodsof time are few and lie mostly aoutside of the dominant societies modernized in the western image. The exceptions, alhough rare,are important given that they bear on critical questions debated within humanistic psychology.
Humanistic Psychology was begun by persons whose appreciation for the richness of human experience and for its value convinced them that the psychology of their day gave too little opportunity for the human potential to thrrive. It should be of no surprise that many of these same people were equally concerned about the threat posed by war to diminish not only the hopes of humankind but also the possibilities for its survival, for what does it mean to cherish the individual human while ignoring the human-created cloud that might bring all life to an end?
Many of the legendary figures of humanistic psychology have spoken to the issues of war and peace. Before the advent of two world wars andthe development of nuclear weapons.

References
Stent, G. S. (1974). Molecular biology and metaphysics. Nature, 248,779-781

030707_up_down

The purpose of this chapter is to confront an intrinsically difficult and pfte bypassed question: what is the meaning of the psyche? I approach the question with modest ambition. I do not expect togive a full answer; rather I hopeto revive and restore its legitimacy and perhaps move the discussion of it forward a bit. After all, the founders of our discipline were forced to answer the question because they were claiming to found a new science, and one can hardly make that claim without articulating, to some degree, what the new science is all about. The only trouble was that the founders of our discipline were forced to answer the question becuse they were claiming to found a new sciene, and one can hardly makethat claim without articulating,to some degree, what the new science is all about. The only trouble was that the founders of our discipline did not always agree on the subject matter, the approach to it, the methods to be employed, or even the value of the knowledge gained.
I am aware, of course , that the psyche, as the phenomenon to be explored by psychology, has been denied. The claim is made that the name represents an anachronism. Nevertheless, I do believe that the term has staying power and canotes a uniqueness not cintained in its competitors- consciousness, the unconscious, behaviour, and experience. Beteer yet, one way of responding to the challenge is toshow how the term psyche can incorporate each of the four competing terms. The deeper challenge is to be able to discern accurately and articulate well the specific unique connotations of the psyche.

Reference
Bentley, M. (1930). A psychology for psychologists. In C. Murchisin (Ed.), Psychologies of 1930 (pp.95-114). Worcester, MA : Clark University Press.

icon

It seems likely that once prehumans became “human,”they began to abserve and form an understanding of tjemselves. Intuitively, we regard this effort at self-oservation and self-understanding as intrisic towhat we mean by being human. Less obviously, the effort to understand ourselves merges into the effort to understand human nature or the mind.

Before long, the tendency toward role specialization, inherent in the social nature of humanlife, led to certain persons becoming accredited as experts in understanding humans. The fisrt authorities, called priests, soon were followed by philosophers and play wrights. From antiquity until the end of the 18th century, the members of these three groups were te acknowledged experts on human nature. Attributted to divine sources, the authority of the priesthood was unquestioned and unquestionable and was insepaable from the authorit of the “state”.

With the advebt of mdernity, the authority of religion to legitimize the state in general, andsocial sanctions in particulaar, gradually declined

and was replaced by the authority of reason. We call the result of this metamorphosis the Enlightenment and attribute its authority to science. By the end of the 19th century, moral-philosophical accounts of mind-as-brain.

References

Camus,A. (1961). The wager of our generation. In Resictance, rebellion, and death.New York.

Di dalam psikologi humanistic dikenal tingkah laku –tingkah laku yang menyimpang dari tingkah laku normal. Penyimpangan tingkah laku ini disebabkan oleh adanya kelainan psikis pada orang-orang yang bersangkutan. Cabang psikologi yang khusus mempelajari kelainan psikis ini disebut psikopatologi atau psikologi abnormal, sedangkan usaha-usaha memperbaiki atau menyembuhkan kelainan-kelainan dilakukan dalam psikologi klinis.

Kelainan-kelainan psikis seringkali pula disebabkan oleh penyakit-penyakit badaniah. Disamping itu, kelainan psikis dapat juga dianggap sebagai penyakit kejiwaan. Oleh karena itu, kelainan psikis dipelajari juga oleh ilmu kedokteran, khususnya dalam cabang psikiatri. Perbedaan antara psikologi klinis dengan psikatri adalah perbedaan metode pendekatan. Psikologi klinis, menangani kasus-kasus kelainan psikis dari sudut psikologi. Jadi teknik-tekniknya adalah teknik-teknik yang biasa dipergunakan dalam psikologi seperti pemeriksaan psikologis, wawancara, observasi, pemberian nasihat dan usaha penyembuhan secara psikologis yang disebut psikoterapi. Psikiatri di lain pihak, memandang kelainan psikis dari sudut ilmu kedokteran, jadi dari sudut penyakit dan cara pengobatan. Teknik yang dipergunakan psikiater jadinya adalah dokter, sedangkan seorang psikolog bukanlah dokter.

Kelainan psikis ada bermacam-macam yang dapat dikelompokan ke dalam beberapa jenis sebagai berikut:
1. keterbelakangan mental
2. kelainan seksual
3. psikoneurosis
4. psikosi
5. psikopati

• Kelainan
Ada sua macam kelainan pada tingkah laku seksual, yaitu pada objeknya, dan kelainan pada caranya:
1. Kelainan pada objeknya: Di sini cara seseorang memuaskan dorongan seksualnya adalah normal, tetapi objek yang diajukan sasaran pemusan itulah yang lain dari biasanya. Pada manusia normal, objek tingkah laku seksual adalah manusia dari lawan jenisnya, tetapi pada orang yang menderita kelainan seksual jenis ini objeknya bisa berupa orang dari jenis kelamin yang sama (homoseksual pada pria dan lesbian pada wanita), anak di bawah umur (fedifil), hewan (sodomi),pakaian (fetisisme), dan lain-lain.
2. Kelainan pada caranya: objek pemuasan seksual tetap lawan jenisnya, kelainan (ekshibisionis), mengintip (voyeuris), menyakiti partnernya atau disakiti oleh partnernya (sadis atau masokhis).

Psikoneurosis

Psikoneurosis pada hakikatnya bukanlah suatu penyakit. Orang yang menderita psikoneurosis (atau secara singkat disebut neurosis saja) pada umumnya dapat kita sebutkan sebagai orang normal. Yang diderita oleh orang neurosis adalah ketegangan pribadi yang terus menerus akibat adanya konflik-konflik dalam diri orang tersebut tidak dapat mengatasi konflik-konflik dalam diri orang tersebut dapat mengatasi konflik-konfliknya sehingga tidak kunjung reda, dan akhirnya menjadi neurosis.

Penderita psikoneurosis biasanya adalah orang-orang taraf kecerdasannya atau motif-motif yang saling bertentangan sehinga mereka dapat adanya konflik. Orang yang tidak cukup tinggi taraf kecerdasannya, kurang kritis untuk untuk mengerti konflik-konflik yang beda, sehingga mereka pun sukar menjadi neurosis.

image.tempointeraktif[1]

Dalam psikologi memang sulit ditetapkan batas-batas usia yang tegas bagi masing-masing masa pekembangan tersebut diatas. Seorang yang berusia 16tahun misalnya bisa sudah menunjukkan perilaku dewasa (sudah menikah, mempunyai anak, mempunyai pekerjaan tetap, dst), akan tetapi bisa juga orang yang berumur 16tahun itu masih menunjukkan tingkah laku anak-anak. Dalam psikologi, perkembangan jiwa sangat bersifat perorangan. Akan tetapi dalam praktik, seringkali diperlukan batasan-batasanyang tegas. Hukum, misalnya, memerlukan batasan yang tegas, kapan seseorang itu disebut anak dan kapan ia disebut dewasa. Karena itu hukum memberi batasannya sendiri, misalnyaUndang-undang perkawinan menetapkan umur 16tahun (bagi wanita) dan 19tahun(bagi pria) untuk batas usia minimal perkawinan. Undang-undang Kesejahteraan Anak dan Hukum Pidana menetapkan 21 tahun sebagai batas anatara periode anak dan dewasa.

Demikian pula dalam ilmu kesehatan, program-program kesehatan memerlukan batasan-batasan usia yang tegas antaraberbagaitahap perkembangan jiwa manusia. Karena itu, World Health Organization(WHO), misalnya menetapkan bahwa masa remaja adalah periode 11 sampai dengan 20 tahun

Mengingat itu semua, maka kiranya perlu dikemukakan batas-batas usia perkembangan sebagaimana yang diajukan oleh seorang ahli psikologi perkembangan. Sekali lagi, batas-batas usia ini tidak dapat dijadikan, ukuran mutlak, akan tetapi kiranya dapat dijadikan ancer-ancer untuk memperkirakan berbagai tahap perkembangan, terutama jika kondisi psiko-sosial orang yang bersangkutan tidak terlalu jauh dari kondisi psiko-sosial orang-orang yang diselidiki Hurlock, yaitu manusia-manusia di negara maju seperti Amerika Serikat.

Adapun tahap-tahap perkembangan menurut Hurlock selengkapnya adalah sebagai berikut:

1. – : prenatal
2. 0-2 minggu : orok (infancy)
3. 2 minggu – 2 tahun : bayi (babyhood)
4. 2-6 tahun : anak-anak awal (early childhood)
5. 6-12 tahun : anak-anak akhir (late childhood)
6. 12-14 tahun : pubertas (puberty)
7. 14-17 tahun :remaja awal (early adolescene)
8. 17-21 tahun : remaja akhir (late adolescene)
9. 21-40 tahun : dewasa awal (early adulthood)
10. 40-60 tahun : setengah baya (middle age)
11. 60 tahun ke atas : tua (senescene)

735232_poster38

Dalam mempelajari perkembangan manusia dan makhluk-makhluk lain pada umumnya, kita harus membedakan dua halyaitu proses pematanga dan proses belajar. Selain itu masih ada hal ketiga yang ikut menentukan perkembangan yaitu pembawaan dan bakat.

PEMATANGAN, bearti proses pertumbuhan yang menyangkut penyempurnaan fungsi-fungsi tubuh sehingga mengakibatkan perubahan-perubahan tingkah laku terlepas adri ada atau tidak adanya proses belajar. Perubaahn-perubahan tingkah laku karena proses pematangan ini dapat diperhitungkan dan diperkirakan seja semula. Misalnya, kita dapat memperhitungkan perkembangan seorang bayi, yaitu bahwa mula-mula ia dapat telungkup, setelah itu merangkak, kemudian duduk, berdiri, dan akhirnya berjalan. Perkembangan ini ditentukan oleh proses pematangan organ-organ tubuh dan terjadi pada setiap bayi normal, sehingga kita dapat memperhitungkan sebelumnya.

BELAJAR,bearti mengubah atau memperbaiki tingkah laku melalui latihan, pengalaman dan kontak dengan lingkungan. Pada manusia penting sekali blajar melali kontak sosial agar manusia dapat hidup dalam masyarakat dengan struktur kebudayaan yang rumit itu.

Ada tingkah laku yang ditentukan semata-mata oleh pross pematangan seperti halnya dengan berjalan, ada pula tingkah laku yang lebih dipengaruhi oleh proses belajar misalnya beremosi, tetapi kebanyakan tingkah laku manusia ditentukan oleh kedua-duanya. Kemampuan berbicara misalnya, ditentukan baik oleh proses pematangan maupun proses belajar. Seorang anak baru bias belajar berbicara kalau organ-organ tubuhnya sedang matang untuk itu,sedangkan bahasa yang digunakannya untuk berbicara didapatnya dari mendengar dan meniru dari orang lain (latihan belajar).

Latihan yang diberikan sebelum taraf kematangan tertentu tercapai, tidak akan memebri hasil, atau paling banyak hanya akan memberi hasil sementara. Misalnya, seorang anak yang belum matang untuk diajar membaca, tidak akan dapat diajari membaca. Latihan-latihan yang diberikan terlalu awal seperti ini, kalau gagal bahkan akan lebih banyak mengecewakan anak yang bersangkutan. Anak yang dipaksa belajar membaca sedangkan ia belum cukup matang untuk itu akan menegrahkan energinya lebih banyak daripada semestinya, dan kalau gagal frustasinya lebih besar, di samping banyak energi terbuang percuma.

MASA KANAK-KANAK
Manusia dilahirkan dalam keadaan yang seoenuhnya tidak berdaya dan harus menggantungkan diri pada orang lain, terutama ibunya. Anak ini memerlukaan waktu yang sangat lama, sebelum ia bisa lepas berdiri sendiri. Tapi justru lamanya manusia harus tergantung pada orang lain, ia punya kesempatan paling banyak untuk mempersiapkan dirinya dalam perkembangannya sehingga pada akhirnya taraf perkembangan manusia adlah yang tertinggi, mengenai hal ini, terkenal suatu eksperimen yang dilakukan oleh Kellogg & Kelloo.
MASA REMAJA

Masa rekaja dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran. Bukan saja kesukaran bagi individu yang bersangkutan, tetapi juga bagi oran tuanya, masyarakat, bahkan seringkali bagi polisi. Hal ini disebabkan masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Masa transisi ini seringkali menghadapkan individu yang bersangkutan kepada situasi yang membingungkan, di satu pihak ia masih kanak-kanak, tetapi dilain pihak ia sudah harus bertingkah laku seperti ornag dewasa. Situasi-situasi yang menimbulkan konflik tersebut, seringkali menyebabkan tingkah laku yang aneh, canggung, dan kalau tidak dikontrol bisa menajdi kenakalan. Dalam ushanya untuk mencari identitasdirinya sendiri.

MASA DEWASA

Tidak ada satu periode pun dalam perkembangan yang tidak ada problemnya. Demikian pua dengan masa dewasa. Memasuki alam kedewasaan, seorang laki-laki harus mempertahankan diri untuk dapat hidup dan menghidupi kelaurganya. Ia harus mulai bekerja mencari nafkah dan membina kariernya. Kaum wanita juga mempersiapkan dirinya utnuk berumah tangga, disamping itu ia selalu menghadapi resiko untuk menjadi “perawan tua”, kalau belum mendapat pasangan pada umur tiga-puluhan. Kalau ia berhasil mendapatkan suami, maak timbul pula problem-problem mengenai anak-anaknya. Demikian seterusnya problem-problem itu selalu berdatangan.

MASA TUA

Problem utama pada orang tua adalah rasa kesepian dan kesendirian. Mereka biasa melewatkan hari-harinya dengan kesibukan-kesibukan pekerjaan yang sekaligus juga merupakan pegangan hidup dan dapat memberi rasa aman dan rasa harga diri.

KEPEKAAN SOSIAL

Manusia bukan saja merupakan makhluk sosial, yaitu makhluk yang harus hidup dengan sesamanya dan selalu membutuhkan kerja sama dengan sesamanya (seperti halnya dengan beberapa jenis hewan tertentu). Tetapi lebih dari itu manusia mempunyai kepekaan sosial. Kepekaan sosial bearti kemampuan untuk menyesuaikan tingkah laku dengan harapan dan pandangan orang lain. Misalnya, perbuatan seseorang akan berbeda-beda kalau menghadapi orang yang sedang marah, sedang gembira, sedang sedih dan lain-lain. Tingkah laku seseorang juga akan berbeda dalam lingkungan orang-orang yang sedang berpesta, sedang memperingati kematian, atau sedang berdiskusi.

KELANGSUNGAN TINGKAH LAKU

Tingkah laku atau perbuatan manusia tidak terjadi secara sporadis (timbul dan hilang di saat tertentu), tetapi selalu ada kelangsungan (kontinuitas) antara satu perbuatan dengan perbuatan berikutnya. Misalnya seorang anak yag masuk sekolah hari ini, akan bersekolah lagi besok dan bersekolah terus bertahun-tahun untuk akhirnya mempunyai kepandaian tertentu dan mendapat pekerjaan, mempunyai penghasilah, berkelaurga,berketurunan dan seterusnya. Pendek kata, tingkah laku manusia tidak pernah berhenti pada suatu saat. Perbuatan terdahulu merupakan persiapan bagi perbuatan yang kemudian, sedangkan yang kemudian merupakan merupakan kelanjutan dari perbuatan sebelumnya. Dengan demikian adalah kaliru kalau seseorang memandang masa kanak-kanak atau masa remaja misalnya, sebagai suatu tingkat perkembangan yang berdiri sendiri, yangterlepas dari tingkat-tingkat perkembangan lain dalam kehidupan seseorang.

ORIENTASI PADA TUGAS

Tiap-tiap tingkah laku manusia selalu mengarah pada suatu tugas tertentu. Hal ini nampak jelas pada perbuatan-perbuatan seperti belajar atau bekerja, tetapi hal ini juga terdapat pada tingkah laku lain yang nampak tidak ada tujuannya.

Seorang anak misalnya, yang sedang bermain menyusun benteng dari pasir di pantai laut, tiba-tiba merusak benteng itu dan mendirikan sebuah lagi di tempat lain. Nampaknya anak itu melakukan sesutu tanpa tujuan, tetapi pada hakikatnya ia sedang mempelajari sift-sifat pasir, bagaimana kalau dihancurkan, dan sebagainya. Bahkan pada orang yang sedang bermalas-malasan beristirahat merupakan sebagian tugas yang harus dipenuhi agar ia bisa mengumpulkan energi kembali untuk dapat bekerja lagi, dn seterusnya.

USAHA DAN PERJUANGAN

Usaha dan perjuangan memang terdapat juga pada makhluk lain selain manusia, misalnya pada kucing yang mengendap-ngendap mengintai seekor tikus yang akan menjadi mangsanya. Tetapi usaha dan perjuangan pada tingkah laku manusia adalah berbeda, karena yang diperjuangkan adalah suatu yang ditentukan sendiri, yang dipilihnya sendiri. Ia tidak akan memperjuangkan sesuatu yang sejak semula memang tidak ingin diperjuangkan. Misalnya, seorang akan pergi ke suatu tempat dengan bus. Calon penumpang bus demikian banyaknya, sehingga tiap orang harus bersusah payah kalau mau naik bus. Dalam hal ini, meskipun banyak bus tersdia, orang yang bersangkutan hanya akan berusaha naik bus ke jurusan yang dikehendakinya saja, sedangkan bus-bus ke jurusan lainnya akan dibiarkan saja.

Dengan perkataan lain, manusia mempunyai aspirasi yang diperjuangkan, sedangkan hewan hanya berjuan untuk memperoleh sesuatu yang sudah diberi oleh alam. Harga diri, misalnya, adalah suatu aspirasi yang dapat diperjuangkan oleh manusia, yang tidak terdapat pada makluk hidup lainnya.

anti-bullying

SISTEM ENERGI YANG DINAMIS

Sebagai makhluk hidup, manusia selalu membutuhkan energi untuk mempertahankan hidupnya, untuk mengembangkan keturunan,untuk tumbuh dan untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
Karena kebutuhan akan energi itu, manusia selalu berusaha untuk mengadakan sejumlah energi dalam tubuhnya. Jumlah energi yang tersedia harus sesuai dengan yang diperlukan. Kalau manusia pada suatu saat demikian aktifnya sehingga membutuhkan energi yang melebihi persediaan yang ada, maka akan terjadi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan aktivitas-aktivitas tersebut.

PERTUMBUHAN YANG MENGIKUTI POLA TERTENTU

Pertumbuhan manusia sejak dalam kandungan sudah ditentukan polanya, dan tiap-tiap sel tubuh berkembang sesuai dengan garis perkembangannya masing-masing. Semuanya mengarah kepada suatu tujuan untuk menjadi makhluk manusia dengan organ-organnya yang tersusun secara harmonis. Demikianlah, meskipun pada hari-hari pertama dalam kandungan sel-sel janin nampaknya serupa saja semuanya (homogen), etapi pada tingkat perkembangan selanjutnya sebagian dari sel-sel itu akan berkembang menjadi jantung, lainnya jadi otak, jadi tangan,kaki dan sebagainya, sehingga akhirnya terjadilah seorang manusia yang sempurna.

PENGARUH PROSES PENGAMATAN TERHADAP TINGKAH LAKU

Tingkah laku manusia tidak dapat dilepaskan dengan proses pematangan organ-organ tubuh. Seorang bayi misalnya, belum dapat duduk atau berjalan kalau organ-organ tubuhnya (tulang punggung,kaki,leher dan sebagainya) belum cukup kuat. Contoh klasik dari proses pematangan anggota tubuh ini adalah anak burung yang sejak menetas dari telurnya dikurung dalam sangkar. Pada suatu saat setelah beberapa laam ia dikurung itu, ia akan langsung terbang kalau sangkarnya dibuka, sekalipun ia tidak pernah belajar terbang sebelumnya.

Pada manusia gejala ini nampak pada anak-anak suku Indian tertentu di Amerika yang selama masa bayinya terus-meenrus diikat dipunggung Ibunya. Pada suatu sat bila Organ-organ tubuhnya sudah cukup matang, ia dapat langsung berjalan tanpa harus belajar dahulu.

article_image2.php

Telah merupakan pendapat psikologis modern bahwa manusia selain merupakan makhluk biologis yang sama dengan makhluk hidup lainnya, adalah juga makhluk yang mempunyai sifat-sifat tersendiri yang berbeda dari segala makhluk dunia lainnya. Oleh karena itu dalam mempelajari manusia kita harus mempunyai sudut pandang yang khusus pula. Kita tidak dapat menajdikan manusia hanya sebagai objek seperti pandangan kaum materialistis, tetapi kita juga tidak dapat mempelajari manusia hanya dari kesadarannya saja seperti pandangan kaum idealis. Manusai adalah objek yang sekali-kali juga subjek.

Banyak sudah sarjana yang mencoba untuk memberi definisi yang tepat tentang manusia. E. Cassierer menyatakan:”Manusia adalah makhluk simbolis”, dan Plato merumuskan:”Manusia harus dipelajari bukan dalam kehidupan pribadinya”,sedangkan menurut paham filsafat eksistensialisme:”Manusia eksistensi”. Manusia tidak hanya ada atau berada di dunia ini, tetapi ia secara aktif “mengada”.

Manusia tidak semata-mata tunduk pada kodratnya dan secara pasif menerima keadannya, tetapi ia selalu secara sdar dan aktif menjadikan dirinya sesuatu. Proses perkembangan manusia sebagian ditentukan oleh kehendaknya sendiri, berbeda dengan makhluk lainnya yang sepenuhnya tergantung pada alam. Kebutuhan untuk terus menerus inilah yang khas manusiawi, dan karenanya pulalah manusia bisa berkarya, bisa mengatur dunia untuk kepentingannya, sehingga timbulah kebudayaan dalam segala bentuknya itu, yang tidak terdapat pada makhluk lainnya. Bentuk-bentuk kebudayaan ini antara lain adalah sistem perekonomian, kehidupan sosial dengan norma-normanya dan kehidupan politik.

Manusia sebagai Makhluk hidup (Ikatan Biologis)

Kontras terhadap eksistensi manusia , maka manusia adalah makhluk biologis yang sampai pada batas-batas tertentu terikat pada kodrat alam. Manusia membutuhkan udara untuk bernafas, makanan dan minuman untuk mempertahankan hidupnya. Untuk memperkembangkan keturunannya, manusia memerlukan pula hubungan seksual . susunan syaraf, susunan tulang dan otot, peredaran darah, denyutan jantung, bekerjanya kelenjar-kelenjar, dan sebagainya, semuanya sudah diatur secara tertentu dan tidak dapat lagi diubah. Meskipun khayalan kita bisa menembus dimensi ruang dan waktu, tetapi badan kasar kita selalu terikat pada ruang dan waktu.

Dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain, manusia adlah satu0satunya makhluk yang tidak dibekali alat-alat untuk bertahan dalam lingkungannya secara alamiah. Manusia tidak mempunyai bulu tebal untuk melawan dingin, manusia tidak dapat berlari cepat, manusia tidak dapat terbang, manusia tidak mempunyai kuku dan taring yang tajam. Semua ini menunjukkan betapa mausia sebagai makhluk biologis sangat lemah. Hanya tingkat kecerdasan yang tinggilah satu-satunya modal manusia untuk tetap bertahan dalam dunia ini.

Makhluk adalah satuan hidup

Maskipun tiap-tiap makhluk mempunyai bagian-bagian tibuh ada yang sederhana terdiri dari satu atau dua bagian. Ada pula yang lebih sempurna terdiri dari ratusan bagian, namun baian-bagian itu merupakan sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Tiap-tiap bagian mempunyai fungsinya sendiri-sendiri dan fungsi-fungsi itu dikorrdinasikan agar makhluk yang bersangkutan mampu beraadaptasi dan bertahan dalam lingkungannya. Bagian-bagian tubuh itu kalau dilepaskan dari organisasi tubuh secara keseluruhan tidak dapat lagi berfungsi. Misalnya, kaki yang terlepas dari tubuh tidak lagi berfungsi sebagai alat untuk berjalan.

Khususnya pada manusia,”jiwa”, kesadaran dan ketidaksadaran juga termasuk dalam satuan hidup tersebut.

images

ILENE SERLIN AND ELEANOR CRISWELL

THE ROLE OF WOMEN in humanistic psychology is complex. On the one hand, much of humanistic thought, especially with regard to the centrality of personal experience and holistic and tacit ways of knowing (Polanyi, 1958), has much in common with feminist theories of inter subjectivity (Chodorow, 1978; Jordan, 1991), personal knowledge, and the importance of finding one’s own voice (Gilligan, 1982; Heilbronn, 1998; Woolf, 1929/1989). On the other hand, existential, humanistic, and transpersonal psychologies all have been subject to feminist critiques all have been subject to feminist critiques that these perspectives privilege the sole self evolving individual on a solitary and heroic journey of self-discovery is characterized by subduing nature; overcoming matter; transcending the body (Wilber, 1986); and promoting individuation, differentiation, and abstraction. It is filled with masculine terms of agency, control, and self-sufficiency (Crocker, 1999). Humanistic psychology, these critics charged, had for gotten the body and nature (Starhawk, 1988; Wright, 1995). In Fact, existential humanism was based on the experience of the modern, alienated, urban white European male (Roszak, 1992), thereby leaving out relevant experiences of women, children, and indigenous people. Even the postmodern trend in humanistic psychology also can be critiqued as sharing “modernity’s groundlessness” (Weil, 1999), being disembodied, and lacking a sense of place and body. A truly radical feminist postmodern humanistic psychology, therefore, would have to be grounded in an “ecosocial matrix” (Spretnak, 1997) that restored element of earth, body, and community. Finally, a feminist perspective on humanistic psychology can itself be critiqued as being insensitive to issues of power and social context. “Womanish” philosophy extends the themes of feminist psychology through its focus on concrete and social-political activism. This activism is expressed through the practice of mutual caring in community and through the centrality of the family. It challenges psychologists to move beyond individualizes experience to liberation and transformation (canon, 1995; Jacklin, 1987; Leslie, 1999). Although these criticisms are true for only part of humanistic psychology, as challenges, they are important reminders for the field.

THE ROLE OF WOMEN IN HUMANISTIC PSYCHOLOGY

Whereas the “third force” or humanistic orientation to psychology was fathered by men such as Abraham Malow, Carl Rogers, Rollo May, and Sidney Jourard, many women served as the mothers of humanistic psychology. Humanistic psychologists believes that all humans are basically creative and behave with intentionality and value. Their focus was on the experiencing person and the meaning of experience to the person, they emphasized the human qualities of choice and self-realization, they were concerned with problems that are meaningful to humans, and their ultimate concern was with the dignity and worth of humans and an interest in the development of the potential inherent in every person (Krippner & Murphy, 1973). During the late 1960s and 1970s, many women were attracted to humanistic psychology because of its philosophy, practices, and promises of self fulfillment.
At approximately the same time, parallel social movements were beginning. For example, during the late 1950s, the women’s liberation movement led by Betty Freidan Championed similar humanistic principles and rights. The world of humanistic psychology was a favorable environment for women. Many women attended workshops in growth centers throughout the country, and these continue to be characterized by a great deal of exploration, experimentation, and creativity. The Humanistic Psychology Institute (now Sat brook Graduate School and Research Center) was founded by Eleanor Criswell from the Association for Humanistic Psychology (AHP) in 1970 as its academic arm-as a place for training humanistic psychologists, both men and women.

WOMEN’S WAY OF KNOWING AND HUMANISTIC PSYCHOLOGY

In a recent sequel to the now well-known Women’s Ways of Knowing (Belenky, Clinchy, Goldberger, & Tarule, 1986), this same group of women extended their epistemological analysis to Knowledge, Difference, and Power (Goldberger, Tarule, Clinchy, & Belenky, 1996). The position that they laid out echoes core values of humanistic psychology (p. 205).
In their opening chapter to Knowledge, Difference, and Power, Goldberger and colleagues (1996) framed their argument with a statement that the discussion would be in terms of gender roles and the archetypally feminine, not in terms of real complex women and men. In the same way, the distinctions that we make here about women’s versus men’s ways of knowing, and about experiential versus cognitive approaches to humanistic psychology, are simply helpful conceptual tools. Because society always has “tenderized” knowledge, understanding women’s ways of knowing can raise our consciousness to include “the situational and cultural determinants of knowing” and “the relationship between power and knowledge” (p.8), ‘standpoint epistemologies” (Harding, 1986; Jagger, 1983), and “social positionality and situated knowledge” (Collins, 1990; de Laurentis, 1986; Haraway, 1991; hooks, 1993).
Therefore, the key concepts of those women’s ways of knowing are the following.

CONCLUSION

On the one hand, categories of feminist epistemologies are close to humanistic values of holism, subjectivity, and the centrality of the experiencing human (Bugental, 1976; Malow, 1962; May, 1953; Yalom, 1980) and “experiential humanism” (Schneider, 1998; see also the introduction to this volume). On the other hand, feminist values can help to bring humanistic theory back down to earth, to matter and flesh, and to connection with other humans, other species, and nature (see also the chapter by Pilisuk & Joy [Chapter 9] in this volume).
What can humanistic psychology often women in the future? One of the trends that emerged over the years, encouraged by humanistic psychology, is the greater actualization of potential for all. Women have been allowed and encouraged to develop more of their potential for all. Women have been allowed and encouraged to develop more of their potential. This also is true for men; they have been allowed to become more emotionally expressive and to embrace life. These advances in gender role expansion need to be maintained and further developed. After differentiation comes integration. Perhaps it is time for gender transcendence without losing the richness of gender differences. As humanistic psychologists, we have a concern for all persons and their basic human rights-the right to be treated as individuals with worth and dignity, the right to the primacy of their experiences, the right to the holistic development of their various talents and capacities, and the right of society to receive the contributions of all individuals toward the cultural evolution of humankind. This is a fertile ground for the continued development of all toward global and environmental wellbeing.

REFERENCES

American Psychological Association. (1999). Report on the status of women in psychology. Washington, DC: Author.
Belenky, M., Clinchy, B., Goldberger, N., & Tarule, J. (1986). Women’s ways of knowing: The development of self, voice, and mind. New York: Basic Books.
Buber, M. (1985). Between man and man. (R. G. Smith, Trans.) New York: Macmillan.
Bugental, J. F. T. (1976). The search for existential identity. San Fransisco: Jossey Bass.
Cannon, K. G. (1995). Kaite’s canon: Womanism and the soul of the community. New York: Guilford.